gambar: akun twitter @__Raung
“Untuk mendapatkan sistem pengajaran
yang akan berfaedah bagi peri-kehidupan bersama, haruslah sistem itu
disesuaikan dengan hidup dan kehidupan rakyat. Oleh karena itu wajiblah kita
menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan dalam hidup kita berhubungan
dengan sifatnya masyarakat yang kita kehendaki.”
–Ki Hajar Dewantara-
Kegagapan pemerintah dalam menghadapi krisis
covid-19 turut berimplikasi pada ranah pendidikan tinggi. Pandemi ini
menimbulkan kepanikan bagi kampus karena mesti merumahkan dosen, tenaga
pendidik, dan mahasiswa. Kuliah yang normalnya lebih banyak dilakukan dengan
tatap muka di kelas kini harus berubah format menjadi perkuliahan daring.
Di kondisi semacam ini, kampus yang sejatinya adalah laboratorium intelektual
seharusnya bisa memposisikan peran sebagai problem solving.
Namun yang terjadi adalah sebuah ironi yang menyayat kalbu.
Menghadapi kondisi ini tentu Universitas Serang Raya (Unsera) kampus
yang mempunyai tagline #UnseraJawara sebagai satu badan perguruan tinggi yang
sudah diselaraskan dengan kepentingan rakyat harus memainkan peranan sosialnya.
Wajib diketahui bahwa perkara kehidupan dan penghidupan rakyat itulah yang jadi
pokok tujuan dalam usaha Unsera.
Kampus tercinta dengan bangunan megah bukanlah tolak ukur
tercapainya cita para mahasiswa. Adu argumentasi pada intinya adalah sebagai
proses membentuk mental dan karakter penghuni kampus untuk beranu menyatakan
kebenaran dan siap memperjuangkan keadilan. Akan tetapi semuanya itu tentu
tidaklah seindah dan semanis yang kita bayangkan.
Kegagapan
Esensi kuliah yang perlu diketahui oleh institusi pendidikan,
baik secara tatap muka di kelas maupun secara daring, adalah dialog. Apapun
metode dan alat yang digunakan dalam pembelajaran daring, dialog patut menjadi
esensi yang semestinya diperhatikan. Banyak kampus telah menerapkan sistem
pembelajaran daring sebagai implementasi pendidikan jarak jauh pada pendidikan
tinggi sehingga dosen, mahasiswa, dan tenaga pendidiknya terbiasa menggunakan
metode dan alat yang beragam dalam perkuliahan daring.
Namun di kampus kita tercinta ini, kampus jawara Universitas
Serang Raya kuliah daring merupakan hal yang baru sehingga kampus masih
terkesan gagap. Secara institusi maupun individu, dosen dan mahasiswa tidak
terbiasa dengan perkuliahan daring sehingga mengalami kegagapan pula. Berbagai
proses adaptasi tepat guna telah dilakukan untuk menjalankan perkuliahan
daring. Sayangnya, kegagapan ini berujung pada metode perkuliahan yang tidak
efektif bahkan tidak manusiawi.
Dosen memberikan beragam tugas yang bertumpuk lalu meminta
mahasiswa mengumpulkan tanpa memberikan umpan balik kepada mahasiswa. Fenomena
di balik tidak adanya umpan balik kepada mahasiswa menandai perkuliahan hanya
berlangsung satu arah, bukan kuliah yang dialogis. Pada akhirnya kita hanya
akan sambat atau mengeluh di media sosial.
Ketidaksiapan kampus menerapkan kuliah daring merupakan ironi
dalam dunia pendidikan tinggi kita. Kampus belum menggunakan berbagai media
komunikasi dalam proses perkuliahan yang bisa diterapkan dalam pendidikan jarak
jauh. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi menyebutkan bahwa pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar
mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media
komunikasi. Pada kasus seperti ini, agaknya ada kesenjangan antara kampus
dengan mahasiswa.
Kampus masih menggunakan paradigma pembelajaran konvensional,
sementara mahasiswa adalah generasi yang akrab dengan berbagai media komunikasi
digital yang mereka akses secara daring melalui telepon pintar dan komputer
tablet.
Pandemi covid-19 sekaligus membuka tabir bahwa sistem pendidikan
kita hari ini rapuh dan dibangun atas dasar pemintaan pasar bebas serta
penilaian angka-angka sebagai tolok ukur keberhasilan. Institusi pendidikan
kita hari ini hanya berusaha mengerucutkan pendidikan menjadi sebuah mesin
untuk memenuhi ekspektasi ekonomi mahasiswa maupun masyarakat.
Institusi pendidikan kita masih abai dalam hal membaca kebutuhan
zaman dan menutup diri dalam pembelajaran yang modern dan humanis. Ini bukan
soal apa-apa, ini soal posisi ilmuwan, kaum terdidik, yang menutup diri untuk
persoalan-persoalan nyata di sekitarnya. Akademisi seperti itu adalah produk
sistem pendidikan yang positivistik-mekanistik. Sistem pendidikan yang jauh
atau sengaja dijauhkan dari sentuhan nilai-nilai humanistik.
Disorientasi
Dalam situasi nasional yang sedang menuju krisis itu, sepatutnya
institusi pendidikan tinggi sebagai arena pemikiran mampu menganalisis situasi
serta menyediakan tindakan antisipatif yang sekiranya bisa diterapkan dalam
kebijakan yang menyejahterakan kemaslahatan mahasiswa bahkan masyarakat. Namun
lagi-lagi institusi pendidikan tinggi tidak memainkan perannya sebagai problem solver.
Institusi pendidikan masih terjebak sistem pengajaran yang
konservatif dan terikat pada target pencapaian kurikulum pembelajaran. Bukti
nyatanya ialah setiap surat edaran yang selalu dikeluarkan oleh kampus sebenarnya
jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara.
Setiap surat yang diedarkan tak ada satu pun poin yang
membicarakan persoalan finansial kemahasiswaan dan nasib mahasiswa perantau di
tengah wabah pandemi ini. Orientasi kebijakan yang bias ini menempatkan kampus
hanya sebagai penghasil nilai yang mengejar profit dan target kurikulum
daripada masalah kemanusiaan dan jaminan kemaslahatan mahasiswa dan masyarakat
secara menyeluruh.
Alih-alih memberikan prioritas kepada kebutuhan pembelajaran, jaringan
keamanan sosial, dan merespon pandemi Covid-19, birokrasi kampus justru tidak
memberikan alokasi anggaran secara konkret sebagai penunjang kegiatan
pembelajaran daring dan penangguhan pembayaran SPP variabel, serta
keberlangsungan kehidupan dan penghidupan mahasiswa selama pandemi ini. Padahal
banyak mahasiswa perantau di kampus jawara ini yang memiliki ekonomi menengah ke bawah.
Kampus mestinya bisa membuat kebijakan yang menyentuh ranah-ranah tersebut.
Kampus sepatutnya juga mereaktualisasi kembali sifat dan maksud
pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang berguna untuk peri
kehidupan bersama. Maksudnya ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari
persatuan (rakyat). Di dalam konsep hidup merdeka, seseorang mesti senantiasa ingat
bahwa ia hidup bersama-sama dengan orang lain yang kemudian tergolong menjadi
suatu bagian dari persatuan manusia yang berhak menuntut kemerdekaannya, dan
mereka itu semua lebih besar (rakyat). Oleh karenanya, bila makin tinggi, makin
lebih banyak pengaruhnya terhadap kemerdekaan manusia, haruslah pengajaran bagi
rakyat dipertinggi sepantasnya. Tidak hanya itu, pendidikan harus mengutamakan
kemerdekaan haknya sebagai anggota dari persatuan (rakyat).
Kebijakan-kebijakan neoliberal dalam pendidikan tinggi telah
mengubah misi dan visi pendidikan tinggi Unsera secara keseluruhan.
Dikarenakan institusi pendidikan tinggi kita menjadi sebuah “pasar” ketimbang
sebuah public good maka fokus mahasiswa maupun para
pendidik pun adalah return of investment (ROI)
dari ‘investasi’ para mahasiswa. Dengan kata lain fokus pendidikan yang dipersempit ke output ekonomi menyebabkan matinya aktivisme dan
pola pikir kritis mahasiswa secara perlahan. Oleh karena itu, perlu sebuah
revolusi pendidikan yang terbuka terhadap kritik, serta mendorong masyarakat
untuk berpikir secara kritis akan dirinya maupun dunia sekitarnya, serta sesuai
dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu membentuk pendidikan yang
memanusiakan manusia.
Lantas apa yang bisa membuat pendidikan khsususnya Unsera insaf dengan nilai
kemanusiaan yang dapat memberikan semangat bagi kaum terdidik untuk membuka
mata terhadap masalah manusia dalam kehidupan?
Apakah kita harus merefleksikan kembali tujuan perguruan Unsera
dan semangat perjuangan Ki Hajar dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional
sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan penjajah?
Silakan memberikan jawaban di benak kita masing-masing..
Ditulis
oleh : Khairul Anwar