Monday, April 27, 2020

Kampus Jawara: Praktik Kegagapan dan Disorientasi Nilai Humanistik?


gambar: akun twitter @__Raung

“Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi peri-kehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan kehidupan rakyat. Oleh karena itu wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan dalam hidup kita berhubungan dengan sifatnya masyarakat yang kita kehendaki.” –Ki Hajar Dewantara-

Kegagapan pemerintah dalam menghadapi krisis covid-19 turut berimplikasi pada ranah pendidikan tinggi. Pandemi ini menimbulkan kepanikan bagi kampus karena mesti merumahkan dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa. Kuliah yang normalnya lebih banyak dilakukan dengan tatap muka di kelas kini harus berubah format menjadi perkuliahan daring. Di kondisi semacam ini, kampus yang sejatinya adalah laboratorium intelektual seharusnya bisa memposisikan peran sebagai problem solving. Namun yang terjadi adalah sebuah ironi yang menyayat kalbu.

Menghadapi kondisi ini tentu Universitas Serang Raya (Unsera) kampus yang mempunyai tagline #UnseraJawara sebagai satu badan perguruan tinggi yang sudah diselaraskan dengan kepentingan rakyat harus memainkan peranan sosialnya. Wajib diketahui bahwa perkara kehidupan dan penghidupan rakyat itulah yang jadi pokok tujuan dalam usaha Unsera.
Kampus tercinta dengan bangunan megah bukanlah tolak ukur tercapainya cita para mahasiswa. Adu argumentasi pada intinya adalah sebagai proses membentuk mental dan karakter penghuni kampus untuk beranu menyatakan kebenaran dan siap memperjuangkan keadilan. Akan tetapi semuanya itu tentu tidaklah seindah dan semanis yang kita bayangkan.

Kegagapan

Esensi kuliah yang perlu diketahui oleh institusi pendidikan, baik secara tatap muka di kelas maupun secara daring, adalah dialog. Apapun metode dan alat yang digunakan dalam pembelajaran daring, dialog patut menjadi esensi yang semestinya diperhatikan. Banyak kampus telah menerapkan sistem pembelajaran daring sebagai implementasi pendidikan jarak jauh pada pendidikan tinggi sehingga dosen, mahasiswa, dan tenaga pendidiknya terbiasa menggunakan metode dan alat yang beragam dalam perkuliahan daring. 

Namun di kampus kita tercinta ini, kampus jawara Universitas Serang Raya kuliah daring merupakan hal yang baru sehingga kampus masih terkesan gagap. Secara institusi maupun individu, dosen dan mahasiswa tidak terbiasa dengan perkuliahan daring sehingga mengalami kegagapan pula. Berbagai proses adaptasi tepat guna telah dilakukan untuk menjalankan perkuliahan daring. Sayangnya, kegagapan ini berujung pada metode perkuliahan yang tidak efektif bahkan tidak manusiawi.
Dosen memberikan beragam tugas yang bertumpuk lalu meminta mahasiswa mengumpulkan tanpa memberikan umpan balik kepada mahasiswa. Fenomena di balik tidak adanya umpan balik kepada mahasiswa menandai perkuliahan hanya berlangsung satu arah, bukan kuliah yang dialogis. Pada akhirnya kita hanya akan sambat atau mengeluh di media sosial.

Ketidaksiapan kampus menerapkan kuliah daring merupakan ironi dalam dunia pendidikan tinggi kita. Kampus belum menggunakan berbagai media komunikasi dalam proses perkuliahan yang bisa diterapkan dalam pendidikan jarak jauh. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Pada kasus seperti ini, agaknya ada kesenjangan antara kampus dengan mahasiswa.
Kampus masih menggunakan paradigma pembelajaran konvensional, sementara mahasiswa adalah generasi yang akrab dengan berbagai media komunikasi digital yang mereka akses secara daring melalui telepon pintar dan komputer tablet.

Pandemi covid-19 sekaligus membuka tabir bahwa sistem pendidikan kita hari ini rapuh dan dibangun atas dasar pemintaan pasar bebas serta penilaian angka-angka sebagai tolok ukur keberhasilan. Institusi pendidikan kita hari ini hanya berusaha mengerucutkan pendidikan menjadi sebuah mesin untuk memenuhi ekspektasi ekonomi mahasiswa maupun masyarakat.
Institusi pendidikan kita masih abai dalam hal membaca kebutuhan zaman dan menutup diri dalam pembelajaran yang modern dan humanis. Ini bukan soal apa-apa, ini soal posisi ilmuwan, kaum terdidik, yang menutup diri untuk persoalan-persoalan nyata di sekitarnya. Akademisi seperti itu adalah produk sistem pendidikan yang positivistik-mekanistik. Sistem pendidikan yang jauh atau sengaja dijauhkan dari sentuhan nilai-nilai humanistik.

Disorientasi

Dalam situasi nasional yang sedang menuju krisis itu, sepatutnya institusi pendidikan tinggi sebagai arena pemikiran mampu menganalisis situasi serta menyediakan tindakan antisipatif yang sekiranya bisa diterapkan dalam kebijakan yang menyejahterakan kemaslahatan mahasiswa bahkan masyarakat. Namun lagi-lagi institusi pendidikan tinggi tidak memainkan perannya sebagai problem solver.

Institusi pendidikan masih terjebak sistem pengajaran yang konservatif dan terikat pada target pencapaian kurikulum pembelajaran. Bukti nyatanya ialah setiap surat edaran yang selalu dikeluarkan oleh kampus sebenarnya jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara. 
Setiap surat yang diedarkan tak ada satu pun poin yang membicarakan persoalan finansial kemahasiswaan dan nasib mahasiswa perantau di tengah wabah pandemi ini. Orientasi kebijakan yang bias ini menempatkan kampus hanya sebagai penghasil nilai yang mengejar profit dan target kurikulum daripada masalah kemanusiaan dan jaminan kemaslahatan mahasiswa dan masyarakat secara menyeluruh.

Alih-alih memberikan prioritas kepada kebutuhan pembelajaran, jaringan keamanan sosial, dan merespon pandemi Covid-19, birokrasi kampus justru tidak memberikan alokasi anggaran secara konkret sebagai penunjang kegiatan pembelajaran daring dan penangguhan pembayaran SPP variabel, serta keberlangsungan kehidupan dan penghidupan mahasiswa selama pandemi ini. Padahal banyak mahasiswa perantau di kampus jawara  ini yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Kampus mestinya bisa membuat kebijakan yang menyentuh ranah-ranah tersebut.

Kampus sepatutnya juga mereaktualisasi kembali sifat dan maksud pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang berguna untuk peri kehidupan bersama. Maksudnya ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat). Di dalam konsep hidup merdeka, seseorang mesti senantiasa ingat bahwa ia hidup bersama-sama dengan orang lain yang kemudian tergolong menjadi suatu bagian dari persatuan manusia yang berhak menuntut kemerdekaannya, dan mereka itu semua lebih besar (rakyat). Oleh karenanya, bila makin tinggi, makin lebih banyak pengaruhnya terhadap kemerdekaan manusia, haruslah pengajaran bagi rakyat dipertinggi sepantasnya. Tidak hanya itu, pendidikan harus mengutamakan kemerdekaan haknya sebagai anggota dari persatuan (rakyat).

Kebijakan-kebijakan neoliberal dalam pendidikan tinggi telah mengubah misi dan visi pendidikan tinggi Unsera secara keseluruhan. Dikarenakan institusi pendidikan tinggi kita menjadi sebuah “pasar” ketimbang sebuah public good maka fokus mahasiswa maupun para pendidik pun adalah return of investment (ROI) dari ‘investasi’ para mahasiswa. Dengan kata lain fokus pendidikan yang dipersempit ke output ekonomi menyebabkan matinya aktivisme dan pola pikir kritis mahasiswa secara perlahan. Oleh karena itu, perlu sebuah revolusi pendidikan yang terbuka terhadap kritik, serta mendorong masyarakat untuk berpikir secara kritis akan dirinya maupun dunia sekitarnya, serta sesuai dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu membentuk pendidikan yang memanusiakan manusia.

Lantas apa yang bisa membuat pendidikan khsususnya Unsera insaf dengan nilai kemanusiaan yang dapat memberikan semangat bagi kaum terdidik untuk membuka mata terhadap masalah manusia dalam kehidupan?
Apakah kita harus merefleksikan kembali tujuan perguruan Unsera dan semangat perjuangan Ki Hajar dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan penjajah?

Silakan memberikan jawaban di benak kita masing-masing..


Ditulis oleh : Khairul Anwar

Saturday, April 25, 2020

PRESS RELEASE : HASIL DISKUSI ONLINE

PRESS RELEASE : HASIL DISKUSI ONLINE
"DPR dan Pemerintah Sibuk Meloloskan Omnibuslaw ditengah Pandemi Covid-19, RAKYAT BISA APA?"
 
Diikuti oleh :
-          Ketua MPM Unsera 2019/2020 (Syahrul Ramadhani Putra)
-          Demisioner Ketua dan Wakil ketua BEM FEB 2018/2019
(Fikri Marwan SN & Tubabgus Ilham)
-          Demisoner Ketua HIMAKSI 2018/2019 (Adha Dhai M)
-          Anggota dan Pengurus KBM FEB, FKIP & VOKASI

  Dalam diskusi yang diadakan oleh DPM FEB ini, tertanggal 25 April 2020, pukul 16.00 s/d 17.30 WIB, notulensi coba merangkum hasil diskusi yang berlangsung via aplikasi Zoom.

Pemerintah dan DPR secara kontroversial terus membahas draft Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus ditengah Pandemi Covid-19 yang menderita IndonesiaSejak awal dirancang pemerintah, RUU Cilaka sebenarnya telah mendapat penolakan tegas dari masyarakat, terutama serikat buruh. Peraturan itu dianggap menghapus banyak hak-hak buruh yang tertuang dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Rapat Paripurna DPR RI Periode 2019-2020 telah menghasilkan kesepakatan diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) oleh DPR melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal ini disepakati oleh 302 anggota dewan yang hadir, baik secara langsung maupun melalui media virtual. Pembahasan Omnibus Law dilanjutkan menanggapi Surat Presiden (Surpres)/R06/Pres tertanggal 7 Februari 2020 tentang RUU Cipta Kerja. Sikap DPR di atas memberi sinyal bahwa parlemen dan pemerintah tidak memiliki kepekaan atas permasalahan ekonomi dan sosial, bahkan atas situasi darurat kesehatan yang tengah dialami rakyat saat ini. Dengan memaksakan melanjutkan Omnibus Law pada masa darurat seperti sekarang ini, di saat kebijakan pyshical distancing berlaku, telah meresahkan rakyat. Keputusan ini mencederai semangat demokrasi, karena DPR dengan sengaja akan membatasi partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. Sudah pasti publik tak bisa dengan efektif dan optimal memberikan masukan, mengawal substansi hingga terlibat dalam proses konsultasi di tengah situasi darurat saat ini.
Menurut hasil diskusi, kami memandang perlu bahwa DPR dan Pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang tidak sesuai dengan situasi sosial hari ini. Pemaksaan RUU akan lahirkan keresahan di tengah publik. Masyarakat yang KECEWA dengan penanggulangan wabah, tekanan ekonomi, ancaman PHK, represi di wilayah konflik agraria akan bertemu dengan kekecewaan masyarakat kepada DPR karena bersikukuh tetap melanjutkan RUU anti rakyat ini. Apabila diabaikan, gejolak ini akan memaksa mobilisasi massa secara besar-besaran. Petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa, perempuan dan kelompok lainnya yang terancam dengan RUU ini seolah telah dipancing oleh Negara sendiri untuk melakukan mobilisasi. Situasi ini akan berdampak terhadap kebijakan dan usaha pemerintah dalam mencegah penyebaran wabah pandemi Covid-19 itu sendiri. Ada banyak hal yang SEPATUTNYA dilakukan DPR dalam situasi krisis saat ini sebagai wujud tanggung jawab Konstitusi Negara, sebagaimana yang menjadi tujuan bernegara kita dalam Pembukaan UUD, yakni melindungi segenap warga negara.

Maka SEPATUTNYA:
1.   DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, karena kebijakan ini BUKANLAH jalan keluar bagi ekonomi Indonesia, apalagi bagi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya RUU ini mengancam keselamatan hidup rakyat, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat sehingga akan menimbulkan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil.
2.   DPR awasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid 19 untuk meminimalisir jumlah korban, mencegah menjalar lebih luas bahkan hingga ke desa-desa. Menyadari fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai dan merata, DPR mesti meminta keterangan pemerintah atas situasi ini.
3.   DPR memastikan pemerintah menangani dampak meluas sosial-ekonomi dari wabah Covid-19 dengan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah selama status darurat Kesehatan.

Kewajiban menjaga situasi yang kondusif di saat krisis bukan hanya tugas rakyat, tapi juga tugas DPR dan Pemerintah! Oleh sebab rakyat yang ditekan dari berbagai aspek kehidupannya, dapat menekan balik Negara yang gagal jalankan fungsinya.

Demikian PRESS RELEASE hasil diskusi online ini kami buat agar menjadi perhatian bagi semua pihak.

Narahubung:
DPM FEB UNSERA 2019/2020
Salam hormat :
KBM FEB, FKIP & VOKASI UNSERA

Serang, 25 April 2020.



Thursday, April 9, 2020

Kebijakan Kuliah Daring di Kampus Jawara, Apakah Sudah Pro terhadap Mahasiswanya?

Pandemi Covid-19 atau virus corona yang masih mengepung dunia nampaknya belum bisa diredam. Virus yang menyebar dengan cepat dan tak mengenal batas teritorial ini menjalar bak kebakaran dipadang rumput ilalang, dengan cepat merembet ke berbagai Negara, membuat warga dunia menjadi semakin khawatir dan  panik. Dengan kekhawatiran yang cukup tinggi, tidak sedikit instansi mengambil tindakan antisipasi untuk mencegah menyebarnya virus tersebut. Bahkan sejak tanggal 16 Maret kemaren tidak sedikit kampus memilih untuk mengganti kuliah tatap muka menjadi kuliah dengan system online, begitupun dengan kampus Universitas Serang Raya (Unsera). Kampus yang mempunyai tagline kampus jawara ini telah mengambil kebijakan hingga Ujian Tengah Semester (UTS) bahkan bimbingan tugas akhir dilakukan secara daring (online) sampai tanggal 11 Mei 2020.

Lantas, apakah sejauh ini perkuliahan secara online di kampus jawara ini sudah berjalan efektif? Banyak kejadian yang terselubung sehingga mahasiswa merasa tertekan adanya system tersebut. Sudah lebih tiga pekan kuliah online dijalankan, hal ini tidak akan pernah lepas dari namanya kontroversial. Dari system yang dijalankan banyak keluhan dan juga dampak kurang baik yang dirasakan mahasiswa. Sampai saat ini, suara aspirasi mahasiswa Unsera dalam menanggapi perkuliahan secara daring tersebut sudah beragam. Mulai dari kesulitan mahasiswa yang tinggal di daerah-daerah yang secara akses jaringan belum memadai, pembelian kuota internet untuk menunjang perkuliahan daring, perkuliahan daring hanya sebatas pemberian tugas dan sangat sedikit dalam transformasi ilmu, perlu adanya sosialisasi dan pelatihan yang lebih mendalam kepada dosen Unsera dalam melakukan kegiatan perkuliahan daring agar lebih siap dan tidak menjadi kendala dalam menghadapi situasi seperti ini. Permasalahan-permasalahan inilah yang seharusnya didengar oleh birokrasi kampus.

Sudah selayaknya kampus jawara (unsera) harus bertanggungjawab terhadap kuliah online yang menjadikan hak-hak mahasiswa berkurang. Seperti fasilitas kelas yang baik, akses wifi kampus, buku di perpustakaan, bantuan dana kegiatan, bantuan dana perlombaan, dan perkuliahan yang menuntut perkembangan intelektualitas. Seyogyanya, Unsera seharusnya menyusun kebijakan baru dan tindakan untuk membendung semua permasalahan yang terjadi, seperti memberi kebijakan memberi tunjangan kuota internet atau memangkas Biaya Operasional Perkuliahan (BOP), hal ini menjadi hak mahasiswa yang seharusnya didapatkan. Subsidi kuota ini sudah diterapkan dibeberapa kampus di Indonesia, seperti contohnya Universitas Aisyiyah Yogyakarta yang memberikan subsidi kuota bagi mahasiswa aktif semester genap tahun 2019/2020 sebesar Rp. 250.000,- per mahasiswa. Pemberian subsidi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemotongan biaya pendidikan. Tapi sayangnya kampus tercinta kita (Read; Unsera) ini kurang responsif dengan keadaan ini. Mereka seolah abai dan tak tau arah untuk menentukan arah kebijakan seperti apa dan bagaimana untuk membantu mahasiswanya. 

Dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan aspirasi dengan lisan dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang.” Maka mahasiswa Unsera wajib untuk menyuarakan segala aspirasi kepada birokrasi agar kampus menjadi tatanan kampus yang selalu kondusif dan kompetitif.

Dalam hal ini, seluruh Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Serang Raya (KBM UNSERA) telah mengeluarkan tuntutan untuk Rekorat sebagai berikut :
1.      Pemotongan Biaya Operasional Perkuliahan (BOP) selama masa tanggap darurat Covid-19
2.       Memberikan tunjangan kuota internet bagi mahasiswa/mahasiswi.

Pada Hari Kamis, 2 April 2020, tuntutan tersebut telah disampaikan kepada Rektorat yang diwakili oleh Wakil Rektor (Warek) II dan Kabiro Kemahasiswaan, adapun perwakilan mahasiswanya diwakili oleh pimpinan ormawa dilevel Universitas, yaitu Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Presiden & Wakil Presiden Mahasiswa Unsera. Namun sangat disayangnya, dalam pertemuan dialog yang dilakukan secara daring, tuntutan tersebut ditolak oleh rektorat dengan alasan mempertimbangkan hak dosen sebagai tenaga pengajar, sungguh respon yang tidak masuk akal memangnya ada hubungan apa biaya bangunan gedung dengan hak dosen? Karena setiap dana yang masuk ke Yayasan semua sudah ada bagiannya termasuk hak tenaga pengajar dan pegawai. Dalam dialog tersebut, respon rektorat dalam menanggapi tuntutan tersebut hanya memberikan toleransi waktu pembayaran dan system pembayaran diganti menggunakan virtual account agar mahasiswa lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban, yaitu pembayaran SPP.
Alih-alih meringankan beban mahasiswa dan mengamini tuntutan mahasiswa selama  tanggap darurat Covid-19, kampus malah merespon dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak diharapkan oleh mahasiswa. Sungguh ironis, tidak ada sama sekali pendekatan rasa kemanusiaan dalam kebijakan tersebut, yang tertanam dibenak kampus melulu soal komersil, sehingga tidak aneh jika ada mahasiswa Unsera yang tidak bisa mengikuti UTS/UAS karena proses pembayaran yang telat dan bahkan kurang Rp. 5.000,- pun tidak ada toleransi.
Meskipun tuntutan tersebut belum mencapai titik terang, dengan ini seluruh elemen mahasiswa khususnya Ormawa akan terus meyerukan aspirasinya dan akan mengadakan pertemuan lanjutan dengan pihak Rekrorat.


    Ditulis oleh : Khairul Anwar, Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis