Oleh : Khairul Anwar
Umat
manusia tengah dilanda sebuah kriris global. Boleh jadi ini adalah krisis
terbesar yang pernah dihadapi oleh generasi kita. Untuk mengatasi krisis ini,
tentu butuh langkah-langkah cepat nan taktis serta meyakinkan agar keadaan
tidak semakin memburuk. Tindakan progressif untuk jangka panjang juga harus
segera diambil namun tetap harus disertai dengan riset yang mendalam untuk
mencegah ketimpangan.
Adalah
virus corona atau yang dikenal dengan Covid-19, sebab krisis ini terjadi. Virus
ini muncul pertama kali di Kota Wuhan China dan langsung menyebar luas ke
segala penjuru dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Worrldometer, per
29 Maret (saat tulisan ini ditulis), ada sebanyak 678,910 kasus positif corona
yang terjadi di 199 negara. Data ini menunjukan betapa mudahnya virus corona
menular dari satu manusia ke manusia lain. Meskipun begitu, kabar baiknya
adalah, walaupun virus corona banyak memakan korban jiwa, namun angka orang yang
sembuh diseluruh dunia melebihi angka kematian. Artinya masih ada harapan
ditengah ketidakjelasan nasib umat manusia.
Di
Indonesia sendiri, berdasarkan data yang disampaikan oleh pemerintah per 29
Maret, menurut Achmad Yuri (jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19), ada
sebanyak 1.285 orang yang positif corona. Dimana 114 orang meninggal, dan 64
pasien yang sembuh.
Dengan rate kematian
yang melebihi rate kesembuhan,
kita tentu perlu khawatir. Apalagi, jika berkaca pada data, jumlah orang yang
terinfeksi virus corona di Indonesia makin meningkat dari hari ke hari. Yang
bisa kita lakukan sebagai masyarakat sipil adalah mengikuti anjuran WHO dan
pemerintah untuk mengisolasi diri di rumah dan menjauhi kerumunan, menjaga
kebersihan dan kesehatan, sembari berharap pemerintah Indonesia mengambil
langkah yang signifikan untuk meredam penyebaran pandemic ini.
Kabar
tidak selalu buruk. Kita tentu dapat cerita bagaiman China negara episentrum
wabah ini berhasil menekan angka penyebaran virus corona di negaranya. Bahkan
kabarnya, tidak ada kasus positif baru yang berasal dari warga local China
sendiri. Ini membawa angin segar bagi kita semua, bahwa pandemic ini dapat
dicegah dan dikalahkan melalui langkah-langkah mitigasi yang benar. Hal ini,
tentunya hanya bisa dilakukan apabila terciptanya koordinasi dan komunikasi
yang baik antara pemerintah dan warganya. Tetapi kenyatannya, pemerintah hari
ini gagap dan kurang serius dalam menangani virus ini. Lihat saja, pada wal
mula virus ini mewabah di Kota Wuhan , otoritas China segera melockdown dan
mengintruksikan warganya untuk berdiam diri di rumah, membangun rumah sakit
khusus pasien terjangit, membuka transparansi informasi, mengembangkan
teknologi yang bertujuan untuk memantau kondisi tubuh warganya, dan melacak dengan
siapa saja pasien positif corona berinteraksi.
Berkaca pada kondisi Indonesia saat ini, jika ingin
bertahan, pihak yang memegang kekuasaan harus mengambil kebijakan yang rasional
disuatu sisi dan radikal disisi lain. Rasional dalam artian, pemerintah harus
memperhitungkan sumber daya yang mereka miliki sebagai landasan dalam melakukan
kebijakan. Selain itu, pemerintah juga harus memprediksi dampak-dampak apa yang
akan timbul dari kebijakan yang dilakukan bersamaan dengan langkah untuk
meminimalisirnya. Singkatnya, selain mengukur baying-bayangnya sendiri, mereka
juga semestinya paham atas apa yang mereka lakukan. Sedangkan radikal yang
dimaksud adalah adikal dalam cara berpikir dan tindakan. Mereka diharapkan bisa
berpikir secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Dengan metode berpikir,
pemerintah Indonesia bisa menelusuri jejak cacat logika yang terpatri dalam
kebijakannya terhitung semenjak virus ini muncul ke permukaan. Dengan ini juga
mereka bisa mengevalusi diri sendiri, seperti mengapa mereka pongah sekali
mendorong pariwisata, mengendorse influencer dengan
gelontoran dana 72 Miliar, dan memberikan insentif kepada wisatawan yang
datang, bahkan yang lebih parah berjibaku dengan rakyat sendiri perkara RUU
Omnibus law yang menjadi kepentingan investor. Pasalnya, pada Senin 30 Maret,
gerombolan perwakilan elit (Read: DPR) akan
mengadakan siding paripurna terkait RUU Omnibus law. Sebuah hajatan besar boros
dana ditengah krisis multi sector yang mulai menindas orang-orang yang kemaren
disebut jubir corona sebagai; ORANG MISKIN. Padahal mereka tahu bahwa virus
corona bisa mengancam warganya kapan saja. Alih-alih mempersiapkan diri
menghadapi badai yang akan datang, mereka malah bersolek lalu kemudian
menyalahkan orang lain karena riasan jelek yang mereka bikin sendiri.
Pemerintah Indonesia sendiri yang meremehkan virus ini
sejak awal. Mereka selalu saja bilang kita sebagai warga tidak usah khawatir
karena kita sudah terbiasa makan nasi kucing. Ada juga dagelan seperti ungkapan
susu kuda liar dan doa qunut bisa mencegah penularan virus corona. Saya tidak
menyalahkan doa nya. Namun, doa semujarab apa yang bisa dikabulkan jika tidak
diiringi dengan ikhtiar yang cukup. Setelah itu semua, tiba-tiba mereka dengan
seenaknya bilang rakyat Indonesia tidak boleh menganggap remeh virus corona.
Sungguh ironis.
Indonesia
sebenarnya punya waktu yang cukup mempersiapkan diri, namun karena pemerintah
sibuk menyukseskan Omnibus law dan godaan liberalisasi ekonomi lainnya, membuat
mereka tumpul dan ignorance. Disinilah
radikal dalam tindakan diperlukan. Menimbang penyebaran virus yang semakin
massif dan ancaman dari berbagai sector yang akan menanti. Saya rasa, sudah
sudah sepatutnya pemerintah Indonesia mempertimbangkan tindakan lockdown untuk
pulau Jawa sebagai episentrum virus corona. Langkah ini tentu memiliki resiko
yang besar, tapi patut untuk dukaji segera mungkin. Langkah ini juga harus
disertai dengan kesiapan menanggung kebutuhan dasar rakyat yang paling
terdampak, seperti buruh, petani, pekerja informal, masyarakat miskin kota, dan
lain-lain.
Tapi
walau bagaimanapun, semarah-marah dan setakut-takutnya, kita tetap harus
percaya; bahwa badai ini pasti akan berlalu.
Serang, 29 Maret 2020.