Tuesday, March 31, 2020

Krisis Global, Omnibuslaw dan Gagapnya Pemerintah dalam Menangani Covid-19

Oleh : Khairul Anwar

      Umat manusia tengah dilanda sebuah kriris global. Boleh jadi ini adalah krisis terbesar yang pernah dihadapi oleh generasi kita. Untuk mengatasi krisis ini, tentu butuh langkah-langkah cepat nan taktis serta meyakinkan agar keadaan tidak semakin memburuk. Tindakan progressif untuk jangka panjang juga harus segera diambil namun tetap harus disertai dengan riset yang mendalam untuk mencegah ketimpangan.


Adalah virus corona atau yang dikenal dengan Covid-19, sebab krisis ini terjadi. Virus ini muncul pertama kali di Kota Wuhan China dan langsung menyebar luas ke segala penjuru dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Worrldometer, per 29 Maret (saat tulisan ini ditulis), ada sebanyak 678,910 kasus positif corona yang terjadi di 199 negara. Data ini menunjukan betapa mudahnya virus corona menular dari satu manusia ke manusia lain. Meskipun begitu, kabar baiknya adalah, walaupun virus corona banyak memakan korban jiwa, namun angka orang yang sembuh diseluruh dunia melebihi angka kematian. Artinya masih ada harapan ditengah ketidakjelasan nasib umat manusia.


      Di Indonesia sendiri, berdasarkan data yang disampaikan oleh pemerintah per 29 Maret, menurut Achmad Yuri (jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19), ada sebanyak 1.285 orang yang positif corona. Dimana 114 orang meninggal, dan 64 pasien yang sembuh.

Dengan rate kematian yang melebihi rate kesembuhan, kita tentu perlu khawatir. Apalagi, jika berkaca pada data, jumlah orang yang terinfeksi virus corona di Indonesia makin meningkat dari hari ke hari. Yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat sipil adalah mengikuti anjuran WHO dan pemerintah untuk mengisolasi diri di rumah dan menjauhi kerumunan, menjaga kebersihan dan kesehatan, sembari berharap pemerintah Indonesia mengambil langkah yang signifikan untuk meredam penyebaran pandemic ini.


Kabar tidak selalu buruk. Kita tentu dapat cerita bagaiman China negara episentrum wabah ini berhasil menekan angka penyebaran virus corona di negaranya. Bahkan kabarnya, tidak ada kasus positif baru yang berasal dari warga local China sendiri. Ini membawa angin segar bagi kita semua, bahwa pandemic ini dapat dicegah dan dikalahkan melalui langkah-langkah mitigasi yang benar. Hal ini, tentunya hanya bisa dilakukan apabila terciptanya koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan warganya. Tetapi kenyatannya, pemerintah hari ini gagap dan kurang serius dalam menangani virus ini. Lihat saja, pada wal mula virus ini mewabah di Kota Wuhan , otoritas China segera melockdown dan mengintruksikan warganya untuk berdiam diri di rumah, membangun rumah sakit khusus pasien terjangit, membuka transparansi informasi, mengembangkan teknologi yang bertujuan untuk memantau kondisi tubuh warganya, dan melacak dengan siapa saja pasien positif corona berinteraksi.


Berkaca pada kondisi Indonesia saat ini, jika ingin bertahan, pihak yang memegang kekuasaan harus mengambil kebijakan yang rasional disuatu sisi dan radikal disisi lain. Rasional dalam artian, pemerintah harus memperhitungkan sumber daya yang mereka miliki sebagai landasan dalam melakukan kebijakan. Selain itu, pemerintah juga harus memprediksi dampak-dampak apa yang akan timbul dari kebijakan yang dilakukan bersamaan dengan langkah untuk meminimalisirnya. Singkatnya, selain mengukur baying-bayangnya sendiri, mereka juga semestinya paham atas apa yang mereka lakukan. Sedangkan radikal yang dimaksud adalah adikal dalam cara berpikir dan tindakan. Mereka diharapkan bisa berpikir secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Dengan metode berpikir, pemerintah Indonesia bisa menelusuri jejak cacat logika yang terpatri dalam kebijakannya terhitung semenjak virus ini muncul ke permukaan. Dengan ini juga mereka bisa mengevalusi diri sendiri, seperti mengapa mereka pongah sekali mendorong pariwisata, mengendorse influencer dengan gelontoran dana 72 Miliar, dan memberikan insentif kepada wisatawan yang datang, bahkan yang lebih parah berjibaku dengan rakyat sendiri perkara RUU Omnibus law yang menjadi kepentingan investor. Pasalnya, pada Senin 30 Maret, gerombolan perwakilan elit (Read: DPR) akan mengadakan siding paripurna terkait RUU Omnibus law. Sebuah hajatan besar boros dana ditengah krisis multi sector yang mulai menindas orang-orang yang kemaren disebut jubir corona sebagai; ORANG MISKIN. Padahal mereka tahu bahwa virus corona bisa mengancam warganya kapan saja. Alih-alih mempersiapkan diri menghadapi badai yang akan datang, mereka malah bersolek lalu kemudian menyalahkan orang lain karena riasan jelek yang mereka bikin sendiri.


Pemerintah Indonesia sendiri yang meremehkan virus ini sejak awal. Mereka selalu saja bilang kita sebagai warga tidak usah khawatir karena kita sudah terbiasa makan nasi kucing. Ada juga dagelan seperti ungkapan susu kuda liar dan doa qunut bisa mencegah penularan virus corona. Saya tidak menyalahkan doa nya. Namun, doa semujarab apa yang bisa dikabulkan jika tidak diiringi dengan ikhtiar yang cukup. Setelah itu semua, tiba-tiba mereka dengan seenaknya bilang rakyat Indonesia tidak boleh menganggap remeh virus corona. Sungguh ironis.


      Indonesia sebenarnya punya waktu yang cukup mempersiapkan diri, namun karena pemerintah sibuk menyukseskan Omnibus law dan godaan liberalisasi ekonomi lainnya, membuat mereka tumpul dan ignorance. Disinilah radikal dalam tindakan diperlukan. Menimbang penyebaran virus yang semakin massif dan ancaman dari berbagai sector yang akan menanti. Saya rasa, sudah sudah sepatutnya pemerintah Indonesia mempertimbangkan tindakan lockdown untuk pulau Jawa sebagai episentrum virus corona. Langkah ini tentu memiliki resiko yang besar, tapi patut untuk dukaji segera mungkin. Langkah ini juga harus disertai dengan kesiapan menanggung kebutuhan dasar rakyat yang paling terdampak, seperti buruh, petani, pekerja informal, masyarakat miskin kota, dan lain-lain.


            Tapi walau bagaimanapun, semarah-marah dan setakut-takutnya, kita tetap harus percaya; bahwa badai ini pasti akan berlalu.


Serang, 29 Maret 2020.







No comments:

Post a Comment