Friday, September 4, 2020

Polemik Biaya Wisuda Drive Thru ; Masuk Unsera Mahal, Keluar Unsera-pun juga Mahal


Kuliah itu Mahal, Kata Siapa? - Hulondalo.id

gambar: hulondalo.id

**

“Mahasiswa, kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hokum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah disekelilingmudan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda; untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan system yang kejam ini? (Victor Serge, Bolshevik)

Pembahasan tentang dunia pendidikan, selalu menjadi sesuatu hal yang menarik untuk dibicarakan. Mulai dari perbaikan system pendidikan, gonta ganti kurikulum sampai biaya pendidikan yang selalu dikomersialisasi dan semakin susah dijangkau oleh semua orang.

Tulisan ini agaknya, hanya berisi curhatan dan refleksi semata, berharap semua orang yang membaca juga merasakannya dan sedikit sadar bahwa pendidikan perguruan tinggi sedang tidak baik-baik saja, terutama di kampusku.

Kampus swasta yang berada di Kota Serang ini memang sudah beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang dinilai menjurus kepada batas kewajaran. Beberapa hari yang lalu, tanggal 26 Agustus 2020 dilansir melalui akun resmi instagram @unserajawara pihak kampus mengeluarkan kebijakan wisuda Drive Thru dengan nominal biaya yang tidak wajar. Pasalnya biaya wisuda Drive Thru sangat tidak relevan dengan situasi sekarang yang begitu melambung tinggi bak elang melayang-layang mengudara, padahal segmentasi kelas social-ekonomi para orangtua/murid mahasiswa sedang terjepit dampak pandemi Covid-19.

            Seharusnya wisuda angkatan 12 gelombang II dilaksanakan bulan April tetapi diundur karena Covid-19 hingga akhirnya menghasilkan keputusan wisuda Drive Thru. Pada audiensi jajaran rektorat dengan perwakilan mahasiswa, dilansir melalui press realese MPM Unsera (28 Agiustus) menghasilkan bahwa:

  1. Calon wisudawan 12.2 sebanyak 499 mahasiswa/i
  2. Keputusan Wisuda Drive Thru ini telah dipertimbangkan oleh hasil keputusan jajaran civitas akademika kampus dengan berdasarkan intruksi Kemendikbud, kondisi pandemi serta pertimbangan ijazah agar segera sampai ke tangan mahasiswa.
  3. Rektor menolak untuk transparan terkait anggaran wisuda Drive Thru 

Mahalnya biaya wisuda Drive thru serta tidak transparansi anggaran terasa ironis. Memungut biaya yang melambung tinggi bak mesin pencetak uang yang menguras uang rakyat, wajar jika pepatah “Masuk Unsera mahal, keluar Unsera-pun juga mahal.” disematkan pada kampus Aquarium ini.

            Wisuda Drive Thru dengan biaya sebesar Rp. 1.500.000,- dinilai sangat tidak manusiawi. Kebijakan ini mengundang kegelisahan yang mendalam bagi para mahasiswa Unsera, baik yang masih aktif maupun yang akan mengikuti wisuda angkatan 12 gelombang II tahun 2020 ini. Mengingat nominal yang dibebankan kepada para calon wisudawan sangat besar namun tidak berbanding lurus dengan apa yang akan mereka terima. Tentu dikalangan mahasiswa Unsera sudah paham jika biaya sebesar itu tidak setimpal dengan apa yang mereka dapatkan saat pelaksanaan wisuda tersebut. Hal ini menjadi pemicu ramaikan kolom komentar akun @unserajawara. 

Tidak sedikit mahasiswa terutama calon wisudawan berkomentar di postingan informasi wisuda tersebut, seperti halnya komentar atas nama akun @ikamustikaam “1,5 juta keliling Unsera doing, mending keliling Taman Safari, liburaaaann..” Kalimat tersebut pada dasarnya bentuk ungkapan rasa kecewa dan protes kebijakan kampus yang mematok biaya wisuda yang tidak rasional, karena wisuda dijalankan secara Drive Thru. Kampus tak perlu mempersiapkan banyak hal, semestinya biaya sebesar itu perlu dipertimbangkan kembali.

            Momentum wisuda merupakan ritual yang paling sakral yang dilakukan mahasiswa yang telah tuntas menempuh studi di Perguruan Tinggi. Ironi memang, selain momen yang kurang meriah karena prosesi wisuda tidak seperti biasanya, ditambah kegiatan yang hanya beberapa menit ini harus dibayar dengan biaya yang mahal, justru tidak ada transparansi dana dari birokrat. Jika akumulasikan, calon wisuda UNSERA September 2020 = 499 mahasiswa x Rp. Rp. 1.500.000 = Rp. 748.500.000,- dana terkumpul untuk wisuda Drive Thru 12.2 (tidak menyewa gedung, tidak ada acara hiburan, dan waktu yang singkat)

Kegelisahan inilah yang menjadi tanda Tanya besar bagi mahasiswa UNSERA, khususnya calon wisuda. Biaya sebesar itu untuk apa? PERLU ADANYA TRANSPARANSI!!

            Pihak birokrat harus lebih bijaksana dalam mematok biaya wisuda. Meskipun kegiatan ini untuk mahasiswa, tetapi jangan terlalu memberatkan calon wisudawan apalagi disaat kondisi pandemi ini. Sejatinya wisuda hanya bersifat ceremonial saja, jika biaya wisuda dapat diminimalisir, maka akan bermanfaat untuk kebutuhan wisudawan pasca kelulusan.

 

 Ditulis oleh : Khairul Anwar

Saturday, May 2, 2020

Mahasiswa FEB Unsera Soroti Penanganan Sistem Validasi Online yang Kurang Responsif

mahasiswa FEB saat antri validasi

 Aksi kekecewaan dari mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Serang Raya (Unsera) berbuntut pada proses validasi pembayaran melalui sistem online.

Ujian Tengah Semester yang tinggal menghitung hari digencarkan dengan sistem validasi online di kampus Unsera. Sebelumnya, Universitas Serang Raya yang dilansir melalui akun instagram Humas @unserajawara, mengambil kebijakan yaitu dengan menggunakan validasi online akibat kuliah diganti dengan sistem daring (online) dampak virus Covid-19. Sehingga, pihaknya segera membuat kebijakan agar mahasiswa tetap bisa menyelesaikan sisa pembayarannya tanpa harus datang validasi ke kampus.

Mekanisme validasi online yaitu mahasiswa hanya mengirimkan nama lengkap, NIM dan program studi kemudian dikirim melalui nomor yang tertera disetiap Fakultas via WhatsApp.

Sekadar diketahui, mahasiswa Unsera tidak diperkenankan mengikuti ujian jika namanya tidak tertera di portal tersebut. Sehingga mahasiswa wajib menyelesaikan administrasi sisa pembayaran agar dapat mengikuti ujian.

Akan tetapi, penerapan sistem validasi online tersebut menuai banyak kekecewaan dikalangan mahasiswa karena dianggap belum maksimal. Banyak keluhan mahasiswa terutama di Fakuktas Ekonomi dan Bisnis. Sudah 5 hari kampus menerapkan validasi online, namun respon validasi dari pihak FEB lamban dalam menanagani kebutuhan mahasiswa. Pada hari Sabtu (2/5), tidak sedikit mahasiswa berbondong-bondong datang ke kampus hanya untuk validasi karwna buntut kekecewaan teehadap pihak validasi yang lamban.

Seperti halnya Ryan, mahasiswa Manajemen ini menyayangkan dengan sikap dari pihak validasi fakultas yang tidak responsif saat dihubungi secara virtual.

"Hari ini dikampus kaya antrian sembako. Aneh, padahal validasi online bisa tapi tidak direspon." ungkapnya kecewa melalui grup.

Keluhan lainnya datang dari Fatisah, mahasiswa manajemen semester 8 tersebut mengungkapkan bahwa dirinya kecewa karena tidak ada respon saat menghubungi untuk validasi online.

"Saya sudah dua hari menghubungi pihak validasi, tapi sampai sekarang belum dibales." pungkasnya.

Menyikapi rekan-rekan mahasiswa FEB yang kecewa akibat validasi online yang tidak responsif, ketua BEM FEB Unsera, Eka Iswanda mengungkapkan dirinya bahwa unsera tidak berfikir panjang ketika akan menerapkan suatu kebijakan alhasil kebijakan validasi online membuat mahasiswa membludak untuk validasi secara langsung.
"Memang mahasiswa FEB paling banyak di Unsera, tapi kampus seharusnya sigap dalam kebijakan validasi online yang diterapkan. Pihak kampus hanya gigit jari melihat keadaan tersebut." tegasnya. (Red/Anwar)

Monday, April 27, 2020

Kampus Jawara: Praktik Kegagapan dan Disorientasi Nilai Humanistik?


gambar: akun twitter @__Raung

“Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi peri-kehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan kehidupan rakyat. Oleh karena itu wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan dalam hidup kita berhubungan dengan sifatnya masyarakat yang kita kehendaki.” –Ki Hajar Dewantara-

Kegagapan pemerintah dalam menghadapi krisis covid-19 turut berimplikasi pada ranah pendidikan tinggi. Pandemi ini menimbulkan kepanikan bagi kampus karena mesti merumahkan dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa. Kuliah yang normalnya lebih banyak dilakukan dengan tatap muka di kelas kini harus berubah format menjadi perkuliahan daring. Di kondisi semacam ini, kampus yang sejatinya adalah laboratorium intelektual seharusnya bisa memposisikan peran sebagai problem solving. Namun yang terjadi adalah sebuah ironi yang menyayat kalbu.

Menghadapi kondisi ini tentu Universitas Serang Raya (Unsera) kampus yang mempunyai tagline #UnseraJawara sebagai satu badan perguruan tinggi yang sudah diselaraskan dengan kepentingan rakyat harus memainkan peranan sosialnya. Wajib diketahui bahwa perkara kehidupan dan penghidupan rakyat itulah yang jadi pokok tujuan dalam usaha Unsera.
Kampus tercinta dengan bangunan megah bukanlah tolak ukur tercapainya cita para mahasiswa. Adu argumentasi pada intinya adalah sebagai proses membentuk mental dan karakter penghuni kampus untuk beranu menyatakan kebenaran dan siap memperjuangkan keadilan. Akan tetapi semuanya itu tentu tidaklah seindah dan semanis yang kita bayangkan.

Kegagapan

Esensi kuliah yang perlu diketahui oleh institusi pendidikan, baik secara tatap muka di kelas maupun secara daring, adalah dialog. Apapun metode dan alat yang digunakan dalam pembelajaran daring, dialog patut menjadi esensi yang semestinya diperhatikan. Banyak kampus telah menerapkan sistem pembelajaran daring sebagai implementasi pendidikan jarak jauh pada pendidikan tinggi sehingga dosen, mahasiswa, dan tenaga pendidiknya terbiasa menggunakan metode dan alat yang beragam dalam perkuliahan daring. 

Namun di kampus kita tercinta ini, kampus jawara Universitas Serang Raya kuliah daring merupakan hal yang baru sehingga kampus masih terkesan gagap. Secara institusi maupun individu, dosen dan mahasiswa tidak terbiasa dengan perkuliahan daring sehingga mengalami kegagapan pula. Berbagai proses adaptasi tepat guna telah dilakukan untuk menjalankan perkuliahan daring. Sayangnya, kegagapan ini berujung pada metode perkuliahan yang tidak efektif bahkan tidak manusiawi.
Dosen memberikan beragam tugas yang bertumpuk lalu meminta mahasiswa mengumpulkan tanpa memberikan umpan balik kepada mahasiswa. Fenomena di balik tidak adanya umpan balik kepada mahasiswa menandai perkuliahan hanya berlangsung satu arah, bukan kuliah yang dialogis. Pada akhirnya kita hanya akan sambat atau mengeluh di media sosial.

Ketidaksiapan kampus menerapkan kuliah daring merupakan ironi dalam dunia pendidikan tinggi kita. Kampus belum menggunakan berbagai media komunikasi dalam proses perkuliahan yang bisa diterapkan dalam pendidikan jarak jauh. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Pada kasus seperti ini, agaknya ada kesenjangan antara kampus dengan mahasiswa.
Kampus masih menggunakan paradigma pembelajaran konvensional, sementara mahasiswa adalah generasi yang akrab dengan berbagai media komunikasi digital yang mereka akses secara daring melalui telepon pintar dan komputer tablet.

Pandemi covid-19 sekaligus membuka tabir bahwa sistem pendidikan kita hari ini rapuh dan dibangun atas dasar pemintaan pasar bebas serta penilaian angka-angka sebagai tolok ukur keberhasilan. Institusi pendidikan kita hari ini hanya berusaha mengerucutkan pendidikan menjadi sebuah mesin untuk memenuhi ekspektasi ekonomi mahasiswa maupun masyarakat.
Institusi pendidikan kita masih abai dalam hal membaca kebutuhan zaman dan menutup diri dalam pembelajaran yang modern dan humanis. Ini bukan soal apa-apa, ini soal posisi ilmuwan, kaum terdidik, yang menutup diri untuk persoalan-persoalan nyata di sekitarnya. Akademisi seperti itu adalah produk sistem pendidikan yang positivistik-mekanistik. Sistem pendidikan yang jauh atau sengaja dijauhkan dari sentuhan nilai-nilai humanistik.

Disorientasi

Dalam situasi nasional yang sedang menuju krisis itu, sepatutnya institusi pendidikan tinggi sebagai arena pemikiran mampu menganalisis situasi serta menyediakan tindakan antisipatif yang sekiranya bisa diterapkan dalam kebijakan yang menyejahterakan kemaslahatan mahasiswa bahkan masyarakat. Namun lagi-lagi institusi pendidikan tinggi tidak memainkan perannya sebagai problem solver.

Institusi pendidikan masih terjebak sistem pengajaran yang konservatif dan terikat pada target pencapaian kurikulum pembelajaran. Bukti nyatanya ialah setiap surat edaran yang selalu dikeluarkan oleh kampus sebenarnya jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara. 
Setiap surat yang diedarkan tak ada satu pun poin yang membicarakan persoalan finansial kemahasiswaan dan nasib mahasiswa perantau di tengah wabah pandemi ini. Orientasi kebijakan yang bias ini menempatkan kampus hanya sebagai penghasil nilai yang mengejar profit dan target kurikulum daripada masalah kemanusiaan dan jaminan kemaslahatan mahasiswa dan masyarakat secara menyeluruh.

Alih-alih memberikan prioritas kepada kebutuhan pembelajaran, jaringan keamanan sosial, dan merespon pandemi Covid-19, birokrasi kampus justru tidak memberikan alokasi anggaran secara konkret sebagai penunjang kegiatan pembelajaran daring dan penangguhan pembayaran SPP variabel, serta keberlangsungan kehidupan dan penghidupan mahasiswa selama pandemi ini. Padahal banyak mahasiswa perantau di kampus jawara  ini yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Kampus mestinya bisa membuat kebijakan yang menyentuh ranah-ranah tersebut.

Kampus sepatutnya juga mereaktualisasi kembali sifat dan maksud pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang berguna untuk peri kehidupan bersama. Maksudnya ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari persatuan (rakyat). Di dalam konsep hidup merdeka, seseorang mesti senantiasa ingat bahwa ia hidup bersama-sama dengan orang lain yang kemudian tergolong menjadi suatu bagian dari persatuan manusia yang berhak menuntut kemerdekaannya, dan mereka itu semua lebih besar (rakyat). Oleh karenanya, bila makin tinggi, makin lebih banyak pengaruhnya terhadap kemerdekaan manusia, haruslah pengajaran bagi rakyat dipertinggi sepantasnya. Tidak hanya itu, pendidikan harus mengutamakan kemerdekaan haknya sebagai anggota dari persatuan (rakyat).

Kebijakan-kebijakan neoliberal dalam pendidikan tinggi telah mengubah misi dan visi pendidikan tinggi Unsera secara keseluruhan. Dikarenakan institusi pendidikan tinggi kita menjadi sebuah “pasar” ketimbang sebuah public good maka fokus mahasiswa maupun para pendidik pun adalah return of investment (ROI) dari ‘investasi’ para mahasiswa. Dengan kata lain fokus pendidikan yang dipersempit ke output ekonomi menyebabkan matinya aktivisme dan pola pikir kritis mahasiswa secara perlahan. Oleh karena itu, perlu sebuah revolusi pendidikan yang terbuka terhadap kritik, serta mendorong masyarakat untuk berpikir secara kritis akan dirinya maupun dunia sekitarnya, serta sesuai dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu membentuk pendidikan yang memanusiakan manusia.

Lantas apa yang bisa membuat pendidikan khsususnya Unsera insaf dengan nilai kemanusiaan yang dapat memberikan semangat bagi kaum terdidik untuk membuka mata terhadap masalah manusia dalam kehidupan?
Apakah kita harus merefleksikan kembali tujuan perguruan Unsera dan semangat perjuangan Ki Hajar dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan penjajah?

Silakan memberikan jawaban di benak kita masing-masing..


Ditulis oleh : Khairul Anwar

Saturday, April 25, 2020

PRESS RELEASE : HASIL DISKUSI ONLINE

PRESS RELEASE : HASIL DISKUSI ONLINE
"DPR dan Pemerintah Sibuk Meloloskan Omnibuslaw ditengah Pandemi Covid-19, RAKYAT BISA APA?"
 
Diikuti oleh :
-          Ketua MPM Unsera 2019/2020 (Syahrul Ramadhani Putra)
-          Demisioner Ketua dan Wakil ketua BEM FEB 2018/2019
(Fikri Marwan SN & Tubabgus Ilham)
-          Demisoner Ketua HIMAKSI 2018/2019 (Adha Dhai M)
-          Anggota dan Pengurus KBM FEB, FKIP & VOKASI

  Dalam diskusi yang diadakan oleh DPM FEB ini, tertanggal 25 April 2020, pukul 16.00 s/d 17.30 WIB, notulensi coba merangkum hasil diskusi yang berlangsung via aplikasi Zoom.

Pemerintah dan DPR secara kontroversial terus membahas draft Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus ditengah Pandemi Covid-19 yang menderita IndonesiaSejak awal dirancang pemerintah, RUU Cilaka sebenarnya telah mendapat penolakan tegas dari masyarakat, terutama serikat buruh. Peraturan itu dianggap menghapus banyak hak-hak buruh yang tertuang dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Rapat Paripurna DPR RI Periode 2019-2020 telah menghasilkan kesepakatan diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) oleh DPR melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal ini disepakati oleh 302 anggota dewan yang hadir, baik secara langsung maupun melalui media virtual. Pembahasan Omnibus Law dilanjutkan menanggapi Surat Presiden (Surpres)/R06/Pres tertanggal 7 Februari 2020 tentang RUU Cipta Kerja. Sikap DPR di atas memberi sinyal bahwa parlemen dan pemerintah tidak memiliki kepekaan atas permasalahan ekonomi dan sosial, bahkan atas situasi darurat kesehatan yang tengah dialami rakyat saat ini. Dengan memaksakan melanjutkan Omnibus Law pada masa darurat seperti sekarang ini, di saat kebijakan pyshical distancing berlaku, telah meresahkan rakyat. Keputusan ini mencederai semangat demokrasi, karena DPR dengan sengaja akan membatasi partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. Sudah pasti publik tak bisa dengan efektif dan optimal memberikan masukan, mengawal substansi hingga terlibat dalam proses konsultasi di tengah situasi darurat saat ini.
Menurut hasil diskusi, kami memandang perlu bahwa DPR dan Pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang tidak sesuai dengan situasi sosial hari ini. Pemaksaan RUU akan lahirkan keresahan di tengah publik. Masyarakat yang KECEWA dengan penanggulangan wabah, tekanan ekonomi, ancaman PHK, represi di wilayah konflik agraria akan bertemu dengan kekecewaan masyarakat kepada DPR karena bersikukuh tetap melanjutkan RUU anti rakyat ini. Apabila diabaikan, gejolak ini akan memaksa mobilisasi massa secara besar-besaran. Petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa, perempuan dan kelompok lainnya yang terancam dengan RUU ini seolah telah dipancing oleh Negara sendiri untuk melakukan mobilisasi. Situasi ini akan berdampak terhadap kebijakan dan usaha pemerintah dalam mencegah penyebaran wabah pandemi Covid-19 itu sendiri. Ada banyak hal yang SEPATUTNYA dilakukan DPR dalam situasi krisis saat ini sebagai wujud tanggung jawab Konstitusi Negara, sebagaimana yang menjadi tujuan bernegara kita dalam Pembukaan UUD, yakni melindungi segenap warga negara.

Maka SEPATUTNYA:
1.   DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, karena kebijakan ini BUKANLAH jalan keluar bagi ekonomi Indonesia, apalagi bagi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya RUU ini mengancam keselamatan hidup rakyat, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat sehingga akan menimbulkan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil.
2.   DPR awasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid 19 untuk meminimalisir jumlah korban, mencegah menjalar lebih luas bahkan hingga ke desa-desa. Menyadari fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai dan merata, DPR mesti meminta keterangan pemerintah atas situasi ini.
3.   DPR memastikan pemerintah menangani dampak meluas sosial-ekonomi dari wabah Covid-19 dengan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah selama status darurat Kesehatan.

Kewajiban menjaga situasi yang kondusif di saat krisis bukan hanya tugas rakyat, tapi juga tugas DPR dan Pemerintah! Oleh sebab rakyat yang ditekan dari berbagai aspek kehidupannya, dapat menekan balik Negara yang gagal jalankan fungsinya.

Demikian PRESS RELEASE hasil diskusi online ini kami buat agar menjadi perhatian bagi semua pihak.

Narahubung:
DPM FEB UNSERA 2019/2020
Salam hormat :
KBM FEB, FKIP & VOKASI UNSERA

Serang, 25 April 2020.



Thursday, April 9, 2020

Kebijakan Kuliah Daring di Kampus Jawara, Apakah Sudah Pro terhadap Mahasiswanya?

Pandemi Covid-19 atau virus corona yang masih mengepung dunia nampaknya belum bisa diredam. Virus yang menyebar dengan cepat dan tak mengenal batas teritorial ini menjalar bak kebakaran dipadang rumput ilalang, dengan cepat merembet ke berbagai Negara, membuat warga dunia menjadi semakin khawatir dan  panik. Dengan kekhawatiran yang cukup tinggi, tidak sedikit instansi mengambil tindakan antisipasi untuk mencegah menyebarnya virus tersebut. Bahkan sejak tanggal 16 Maret kemaren tidak sedikit kampus memilih untuk mengganti kuliah tatap muka menjadi kuliah dengan system online, begitupun dengan kampus Universitas Serang Raya (Unsera). Kampus yang mempunyai tagline kampus jawara ini telah mengambil kebijakan hingga Ujian Tengah Semester (UTS) bahkan bimbingan tugas akhir dilakukan secara daring (online) sampai tanggal 11 Mei 2020.

Lantas, apakah sejauh ini perkuliahan secara online di kampus jawara ini sudah berjalan efektif? Banyak kejadian yang terselubung sehingga mahasiswa merasa tertekan adanya system tersebut. Sudah lebih tiga pekan kuliah online dijalankan, hal ini tidak akan pernah lepas dari namanya kontroversial. Dari system yang dijalankan banyak keluhan dan juga dampak kurang baik yang dirasakan mahasiswa. Sampai saat ini, suara aspirasi mahasiswa Unsera dalam menanggapi perkuliahan secara daring tersebut sudah beragam. Mulai dari kesulitan mahasiswa yang tinggal di daerah-daerah yang secara akses jaringan belum memadai, pembelian kuota internet untuk menunjang perkuliahan daring, perkuliahan daring hanya sebatas pemberian tugas dan sangat sedikit dalam transformasi ilmu, perlu adanya sosialisasi dan pelatihan yang lebih mendalam kepada dosen Unsera dalam melakukan kegiatan perkuliahan daring agar lebih siap dan tidak menjadi kendala dalam menghadapi situasi seperti ini. Permasalahan-permasalahan inilah yang seharusnya didengar oleh birokrasi kampus.

Sudah selayaknya kampus jawara (unsera) harus bertanggungjawab terhadap kuliah online yang menjadikan hak-hak mahasiswa berkurang. Seperti fasilitas kelas yang baik, akses wifi kampus, buku di perpustakaan, bantuan dana kegiatan, bantuan dana perlombaan, dan perkuliahan yang menuntut perkembangan intelektualitas. Seyogyanya, Unsera seharusnya menyusun kebijakan baru dan tindakan untuk membendung semua permasalahan yang terjadi, seperti memberi kebijakan memberi tunjangan kuota internet atau memangkas Biaya Operasional Perkuliahan (BOP), hal ini menjadi hak mahasiswa yang seharusnya didapatkan. Subsidi kuota ini sudah diterapkan dibeberapa kampus di Indonesia, seperti contohnya Universitas Aisyiyah Yogyakarta yang memberikan subsidi kuota bagi mahasiswa aktif semester genap tahun 2019/2020 sebesar Rp. 250.000,- per mahasiswa. Pemberian subsidi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemotongan biaya pendidikan. Tapi sayangnya kampus tercinta kita (Read; Unsera) ini kurang responsif dengan keadaan ini. Mereka seolah abai dan tak tau arah untuk menentukan arah kebijakan seperti apa dan bagaimana untuk membantu mahasiswanya. 

Dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan aspirasi dengan lisan dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang.” Maka mahasiswa Unsera wajib untuk menyuarakan segala aspirasi kepada birokrasi agar kampus menjadi tatanan kampus yang selalu kondusif dan kompetitif.

Dalam hal ini, seluruh Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Serang Raya (KBM UNSERA) telah mengeluarkan tuntutan untuk Rekorat sebagai berikut :
1.      Pemotongan Biaya Operasional Perkuliahan (BOP) selama masa tanggap darurat Covid-19
2.       Memberikan tunjangan kuota internet bagi mahasiswa/mahasiswi.

Pada Hari Kamis, 2 April 2020, tuntutan tersebut telah disampaikan kepada Rektorat yang diwakili oleh Wakil Rektor (Warek) II dan Kabiro Kemahasiswaan, adapun perwakilan mahasiswanya diwakili oleh pimpinan ormawa dilevel Universitas, yaitu Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Presiden & Wakil Presiden Mahasiswa Unsera. Namun sangat disayangnya, dalam pertemuan dialog yang dilakukan secara daring, tuntutan tersebut ditolak oleh rektorat dengan alasan mempertimbangkan hak dosen sebagai tenaga pengajar, sungguh respon yang tidak masuk akal memangnya ada hubungan apa biaya bangunan gedung dengan hak dosen? Karena setiap dana yang masuk ke Yayasan semua sudah ada bagiannya termasuk hak tenaga pengajar dan pegawai. Dalam dialog tersebut, respon rektorat dalam menanggapi tuntutan tersebut hanya memberikan toleransi waktu pembayaran dan system pembayaran diganti menggunakan virtual account agar mahasiswa lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban, yaitu pembayaran SPP.
Alih-alih meringankan beban mahasiswa dan mengamini tuntutan mahasiswa selama  tanggap darurat Covid-19, kampus malah merespon dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak diharapkan oleh mahasiswa. Sungguh ironis, tidak ada sama sekali pendekatan rasa kemanusiaan dalam kebijakan tersebut, yang tertanam dibenak kampus melulu soal komersil, sehingga tidak aneh jika ada mahasiswa Unsera yang tidak bisa mengikuti UTS/UAS karena proses pembayaran yang telat dan bahkan kurang Rp. 5.000,- pun tidak ada toleransi.
Meskipun tuntutan tersebut belum mencapai titik terang, dengan ini seluruh elemen mahasiswa khususnya Ormawa akan terus meyerukan aspirasinya dan akan mengadakan pertemuan lanjutan dengan pihak Rekrorat.


    Ditulis oleh : Khairul Anwar, Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Tuesday, March 31, 2020

Krisis Global, Omnibuslaw dan Gagapnya Pemerintah dalam Menangani Covid-19

Oleh : Khairul Anwar

      Umat manusia tengah dilanda sebuah kriris global. Boleh jadi ini adalah krisis terbesar yang pernah dihadapi oleh generasi kita. Untuk mengatasi krisis ini, tentu butuh langkah-langkah cepat nan taktis serta meyakinkan agar keadaan tidak semakin memburuk. Tindakan progressif untuk jangka panjang juga harus segera diambil namun tetap harus disertai dengan riset yang mendalam untuk mencegah ketimpangan.


Adalah virus corona atau yang dikenal dengan Covid-19, sebab krisis ini terjadi. Virus ini muncul pertama kali di Kota Wuhan China dan langsung menyebar luas ke segala penjuru dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Worrldometer, per 29 Maret (saat tulisan ini ditulis), ada sebanyak 678,910 kasus positif corona yang terjadi di 199 negara. Data ini menunjukan betapa mudahnya virus corona menular dari satu manusia ke manusia lain. Meskipun begitu, kabar baiknya adalah, walaupun virus corona banyak memakan korban jiwa, namun angka orang yang sembuh diseluruh dunia melebihi angka kematian. Artinya masih ada harapan ditengah ketidakjelasan nasib umat manusia.


      Di Indonesia sendiri, berdasarkan data yang disampaikan oleh pemerintah per 29 Maret, menurut Achmad Yuri (jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19), ada sebanyak 1.285 orang yang positif corona. Dimana 114 orang meninggal, dan 64 pasien yang sembuh.

Dengan rate kematian yang melebihi rate kesembuhan, kita tentu perlu khawatir. Apalagi, jika berkaca pada data, jumlah orang yang terinfeksi virus corona di Indonesia makin meningkat dari hari ke hari. Yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat sipil adalah mengikuti anjuran WHO dan pemerintah untuk mengisolasi diri di rumah dan menjauhi kerumunan, menjaga kebersihan dan kesehatan, sembari berharap pemerintah Indonesia mengambil langkah yang signifikan untuk meredam penyebaran pandemic ini.


Kabar tidak selalu buruk. Kita tentu dapat cerita bagaiman China negara episentrum wabah ini berhasil menekan angka penyebaran virus corona di negaranya. Bahkan kabarnya, tidak ada kasus positif baru yang berasal dari warga local China sendiri. Ini membawa angin segar bagi kita semua, bahwa pandemic ini dapat dicegah dan dikalahkan melalui langkah-langkah mitigasi yang benar. Hal ini, tentunya hanya bisa dilakukan apabila terciptanya koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan warganya. Tetapi kenyatannya, pemerintah hari ini gagap dan kurang serius dalam menangani virus ini. Lihat saja, pada wal mula virus ini mewabah di Kota Wuhan , otoritas China segera melockdown dan mengintruksikan warganya untuk berdiam diri di rumah, membangun rumah sakit khusus pasien terjangit, membuka transparansi informasi, mengembangkan teknologi yang bertujuan untuk memantau kondisi tubuh warganya, dan melacak dengan siapa saja pasien positif corona berinteraksi.


Berkaca pada kondisi Indonesia saat ini, jika ingin bertahan, pihak yang memegang kekuasaan harus mengambil kebijakan yang rasional disuatu sisi dan radikal disisi lain. Rasional dalam artian, pemerintah harus memperhitungkan sumber daya yang mereka miliki sebagai landasan dalam melakukan kebijakan. Selain itu, pemerintah juga harus memprediksi dampak-dampak apa yang akan timbul dari kebijakan yang dilakukan bersamaan dengan langkah untuk meminimalisirnya. Singkatnya, selain mengukur baying-bayangnya sendiri, mereka juga semestinya paham atas apa yang mereka lakukan. Sedangkan radikal yang dimaksud adalah adikal dalam cara berpikir dan tindakan. Mereka diharapkan bisa berpikir secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Dengan metode berpikir, pemerintah Indonesia bisa menelusuri jejak cacat logika yang terpatri dalam kebijakannya terhitung semenjak virus ini muncul ke permukaan. Dengan ini juga mereka bisa mengevalusi diri sendiri, seperti mengapa mereka pongah sekali mendorong pariwisata, mengendorse influencer dengan gelontoran dana 72 Miliar, dan memberikan insentif kepada wisatawan yang datang, bahkan yang lebih parah berjibaku dengan rakyat sendiri perkara RUU Omnibus law yang menjadi kepentingan investor. Pasalnya, pada Senin 30 Maret, gerombolan perwakilan elit (Read: DPR) akan mengadakan siding paripurna terkait RUU Omnibus law. Sebuah hajatan besar boros dana ditengah krisis multi sector yang mulai menindas orang-orang yang kemaren disebut jubir corona sebagai; ORANG MISKIN. Padahal mereka tahu bahwa virus corona bisa mengancam warganya kapan saja. Alih-alih mempersiapkan diri menghadapi badai yang akan datang, mereka malah bersolek lalu kemudian menyalahkan orang lain karena riasan jelek yang mereka bikin sendiri.


Pemerintah Indonesia sendiri yang meremehkan virus ini sejak awal. Mereka selalu saja bilang kita sebagai warga tidak usah khawatir karena kita sudah terbiasa makan nasi kucing. Ada juga dagelan seperti ungkapan susu kuda liar dan doa qunut bisa mencegah penularan virus corona. Saya tidak menyalahkan doa nya. Namun, doa semujarab apa yang bisa dikabulkan jika tidak diiringi dengan ikhtiar yang cukup. Setelah itu semua, tiba-tiba mereka dengan seenaknya bilang rakyat Indonesia tidak boleh menganggap remeh virus corona. Sungguh ironis.


      Indonesia sebenarnya punya waktu yang cukup mempersiapkan diri, namun karena pemerintah sibuk menyukseskan Omnibus law dan godaan liberalisasi ekonomi lainnya, membuat mereka tumpul dan ignorance. Disinilah radikal dalam tindakan diperlukan. Menimbang penyebaran virus yang semakin massif dan ancaman dari berbagai sector yang akan menanti. Saya rasa, sudah sudah sepatutnya pemerintah Indonesia mempertimbangkan tindakan lockdown untuk pulau Jawa sebagai episentrum virus corona. Langkah ini tentu memiliki resiko yang besar, tapi patut untuk dukaji segera mungkin. Langkah ini juga harus disertai dengan kesiapan menanggung kebutuhan dasar rakyat yang paling terdampak, seperti buruh, petani, pekerja informal, masyarakat miskin kota, dan lain-lain.


            Tapi walau bagaimanapun, semarah-marah dan setakut-takutnya, kita tetap harus percaya; bahwa badai ini pasti akan berlalu.


Serang, 29 Maret 2020.







Saturday, March 28, 2020

Pandemi Covid-19 dan Kuliah Online, Seperti Apa Nasib Mahasiswa Unsera dalam Kacamata Anak FEB?



Dunia dibuat geger, ribuan manusia meninggal dunia dalam hitungan hari, segala upayakan dilakukan, seluruh Negara bahu membahu, dalam memberantas penyebaran Covid-19, dunia memberlakukan Social Distancing, dengan tujuan memotong penyebaran Virus Corona, membatasi interaksi sosial kita turut mengurangi penyebaran Covid-19.

Social Distancing turut diterapkan di dunia pendidikan, guna menghindari segala bentuk kemungkinan buruk, dengan membatasi interaksi per individu kita telah membantu mengurangi resiko penularan Covid-19. Kampus contohnya, diliburkan kemudian menerapkan proses kuliah online hal ini adalah solusi terbaik untuk mewujudkan upaya pencegahan, namun apakah semua mahasiswa bisa mengakses? Dan nyaman dengan kuliah online?

Sejak terbitnya surat edaran Rektor Universitas Serang Raya (Unsera) terkait upaya mencegah penyebaran infeksi Covid-19 di lingkungan kampus dan menghimbau agar berjalannya kuliah dengan dilaksanakan cara online (Daring) dan kemaren kembali digemparkan dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Rektor tentang perpanjangan sistem perkuliahan online menemui keluhan dari beberapa pihak.

Mahasiswa Unsera tak sedikit mengeluh atas banyaknya tugas kuliah yang diberikan selama diterapkannya sistem kuliah daring atau online. Kuliah daring yang sejatinya dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran Corona Virus Diasease atau COVID 19, namun dinilai malah menekan psikis mereka dengan beban tugas yang padat.

Salah satunya seperti yang dikeluhkan Veni Silfiana, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Dirinya mengatakan memang upaya untuk mencegah pandemi virus corona dengan cara menerapkan kuliah daring merupakan solusi yang tepat. Akan tetapi menurutnya kuliah daring malah membuat psikis mahasiswa terganggu dengan beban tugas yang hampir tidak ada waktu untuk istirahat.

"Kuliah online memang bagus saat seperti ini, tapi menjadi masalah ketika fasilitas pendukung tidak ada, tugas yang diberikan terlalu banyak bahkan jam kuliah online tidak sesuai jam mata kuliah, belum lagi ada beberapa teman yang kuwalahan dengan kuliah online," tegasnya.

Selain dari banyaknya beban kuliah, mahasiswa Unsera juga tak sedikit yang kecewa dengan prosedur kuliah online yang diterapkan kampus. Pasalnya jam kuliah yang tidak sesuai, apalagi para mahasiswa tidak memiliki peralatan pendukung yang memadai.

Dikatakannya, adapun sistem pendukung yang tidak memadai tersebut, seperti masih ada mahasiswa yang belum memiliki smartphone, jaringan internet yang lelet, komputer atau laptop, dan membuat komunikasi saat diskusi kurang efektif, sehingga menambah kebingungan bagi mereka atas beban tugas yang diberikan. Parahnya lagi, dari tugas yang diberikan oleh dosen, jadwal untuk mengumpulkan tugas yang sangat singkat selama diterapkan sistem kuliah online tersebut.

Menanggapi polemik kuliah daring yang diberlakukan di Unsera, salah satu mahasiswa manajemen yang sekaligus seorang aktivis, Ega Setiyawan, ia meminta agar akademik memberikan kebijakan yang sesuai, seperti mengembalikan sebagian uang UKT mahasiswa atau menyediakan layanan paket internet mahasiswa untuk akses perkuliahan, dan memberikan keringanan kepada mahasiswa yang tidak memiliki fasilitas elektronik serta mahasiswa yang daerahnya tidak terjangkau internet diberikan dispensasi dalam mengikuti kuliah secara daring sebagai pengganti fasilitias yang ada di kampus.

"Ya jadi itu solosi yang kami tawarkan untuk kampus, karena tidak mungkin kami menolak kuliah online, karena itu merupakan salah satu cara supaya tidak tertinggal materi kuliah dan kami berharap untuk dipertimbangkan", ujarnya

Ditinjau dari pespektif mahasiswa tingkat akhir. Sama halnya dengan Piki Andrean, mahasiswa prodi Manajemen semester 8, ia mengaku merasa kesulitan jika ingin berkomunikasi dengan dosen terlebih dia sebagai mahasiswa tingkat akhir

"Agak susah juga sih karena kalau mau bimbingan kan jumpa tidak langsung jadi seperti tidak puas saja,” jelasnya.

Selain itu, banyak dibeberapa sosial media curhat mahasiswa Unsera perihal kuliah online yang diberlakukan sehingga dinilai membebani mahasiswa dengan deadline tugas yang menumpuk dan lain sebagainya. Terkhusus mahasiswa tingkat akhir, saat kuliah daring diperpanjang hingga 11 Mei, pengambilan data skripsi tertunda, wisuda diundur, KKN Reguler 2 yang kemungkinan diundur dan sebagainya. (Red/Anwar)


Monday, March 9, 2020

Peringati International Women's Day, KBM FEB UNSERA Ciptakan Atmosfer Ramah Perempuan di Lingkungan Kampus



Memperingati International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret, Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Serang Raya (Unsera) menyerukan hak-hak perempuan dengan menggelar aksi solidaritas di lapangan parkir Universitas Serang Raya, pada Senin (9/3/2020)

Salah satu orator peserta aksi, Wiwin, mengatakan pesan yang ingin disampaikan melalui aksi ini adalah mempropagandakan dan menyuarakan kepada masyarakat luas akan problematika perempuan. "Terkait pelecehan kekerasan, dan diskriminasi terhadap perempuan. Dan juga terkait hak normatif buruh perempuan yang sampai hari ini masih belum terpenuhi secara keseluruhan," ujar mahasiswi Vokasi tersebut, dalam orasi ilmiahnya.

Selain menggelar aksi solidaritas, telah tampak di berbagai spot di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis berbagai poster dan sticker yang berisi tentang kampanye dan ajakan kepada seluruh warga Unsera khususnya Fakultas Ekonomi Bisnis untuk sadar terhadap berbagai isusexual harrasment dan seksisme di wilayah kampus. Tidak hanya itu, terdapat juga majalah dinding (mading) yang bertuliskan kalimat “TIADA TEMPAT UNTUK SEKSISME DI KAMPUS!!!” dan “WUJUDKAN KAMPUS RAMAH PEREMPUAN” di Mading Lantai 5 Gedung A.

Gerakan aksi soludaritas dan menempel poster itu merupakan ajakan kepada seluruh warga UNSERA dan masyarakat umum sebagai bentuk peringatan Hari Perempuan Internasional 2020 yang diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Eka Iswanda, selaku ketua BEM FEB menjelaskan bahwa gerakan itu adalah kegiatan lanjutan hasil diskusi dan konsolidasi internal, dan output dari kegiatannya adalah melakukan aksi solidaritas dan kampanye kampus ramah perempuan dalam momentum IWD 2020. “Kami memutuskan untuk mengadakan mimbar bebas dan menempel poster di berbagai wilayah UNSERA untuk menciptakan atmosfer yang ramah perempuan dan meningkatkan awareness kepada warga kampus Unsera khususnya FEB terhadap berbagai isu pelecehan seksual dan seksisme yang terjadi disini,” tegas mahasiswi angkatan 2016 tersebut.

Eka berharap dalam kegiatan itu agar orang-orang sekitar terketuk hatinya dan sadar untuk selalu menghargai kaum perempuan dan menuntut pemerintah pusat agar hak-hak perempuan terpenuhi dengan regulasi yang ada. Selain itu, ia mengatakan latar belakang dari kegiatan itu adalah untuk memperingati momentum IWD dan minimnya kesadaran terhadap kejadian pelecehan seksual, baik mayor maupun minor di lingkungan kampus. Ia menambahkan bahwa hak-hak fundamental perempuan sebagai manusia seringkali masih tidak dipenuhi karena budaya patriarki yang masih marak.

“Dewasa ini, masih terdapat beberapa kasus dimana mahasiswi mengalami kesulitan untuk mendapat posisi dalam jabatan tertentu,” tambahnya. (Red/Anwar)


Thursday, March 5, 2020

PRESS RELEASE KBM FEB : Hasil Kajian Menyongsong IWD 2020

International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional bermula dan hadir dari kesadaran atas kenyataan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki, dan ingin mengubahnya bersama-sama secara kolektif dan terorganisir sampai keadilan antara perempuan dan laki-laki terwujud. IWD yang selalu diperingati setiap tanggal 8 Maret akan tetap menjadi hari yang akan selalu diperingati dan dijadikan titik beranjak bagi kemajuan perempuan sedunia, dimana pun.

Tanggal 8 maret adalah salah satu momentum terpenting bagi kaum perempuan, karena ketika itu di tahun 1917 telah terjadi gerakan massa yang teroganisir pertama yang memperjuangkan hak perempuan di Petrograd yang kemudian memicu terjadinya Revolusi Rusia. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan penanda sejarah, bahwa perempuan terorganisir dapat mendorong revolusi, juga memastikan persatuan kaum perempuan dapat menjadi kunci gerbang revolusi, yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Peristiwa monumental yang diperingati sebagai IWD tersebut sudah semestinya menjadi pemicu semangat kaum perempuan maupun laki-laki di zaman serba maju saat ini untuk membangun sistem sosial baru yang berkeadilan gender pada semua sektor kehidupan.

Kita tidak hanya sedang mempelajari ulang sebuah kata atau istilah untuk mulai mengekspresikan semua keresahan kita, namun kita sedang menyelidiki kembali sejarah gerakan perempuan dan terus membangun gerakan yang melibatkan kaum perempuan. Untuk mencapai itu, kita perlu memulai titik berangkat dengan membedah apa akar dari penindasan terhadap kaum perempuan? Lalu mendekonstruksikan secara bersama apa yang harus dilakukan?

Maka hasil kajian tertanggal 5 Maret 2020 bertempat gedung B lantai 4 Unsera, pada kesempatan ini KBM FEB menyatakan:
1. Hentikan perjodohan anak pada usia dini
2. Menyerukan kepada kaum perempuan Indonesia untuk bersatu membangun kekuatan dalam melawan diskriminasi kekuatan dan mengajak kaum perempuan untuk terlibat dan berperan aktif dalam wilayah public
3. Terus mendorong terciptanya iklim kampus yang ramah terhadap perempuan dan tertib moral demi mewujudkan kampus ramah perempuan
4. Sama-sama memperjuangkan diruang sosial dalam jeratan ketidakperpihakan ekonomi, sosial politik bahkan dalam ranah budaya patriarki.
5. Mengambil langkah-langkah progresif sebagai upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual, diantaranya dengan mendukung dan mendesak DPR RI dan Pemerintah Pusat untuk segera mengesahanka Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan seksual.
6. Memperluas dan memperdalam cakupan program kerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sehingga dapat mengatasi lebih banyak persoalan perempuan, terutama di kalangan perempuan buruh, petani, dan perempuan miskin kota.

            Demikian Press Realese dan pandangan ini kami buat untuk menjadi pengetahuan umum.


“Tak ada perubahan social, ekonomi dan politik
tanpa partisipasi kaum perempuan.”

Serang, 5 Maret 2020.
Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, FKIP dan Vokasi
Universitas Serang Raya